Kehidupan kami berubah drastis setelah kepergian ayah mertua beberapa bulan sebelum kelahiran anak pertama kami. Kesedihan menyelimuti keluarga istri, terutama ibu mertua dan Rosi, yang sangat dekat dengan almarhum. Rumah terasa sunyi dan berat selama berminggu-minggu.
Namun, seiring berjalannya waktu, terutama setelah upacara peringatan 40 hari, kesedihan mulai mereda. Kedatangan bayi kami tiga bulan kemudian membawa kehangatan dan keceriaan kembali ke rumah. Kehadirannya menyatukan kami dalam kebahagiaan, dan cinta saya pada istri semakin dalam.
Namun, kehidupan intim kami tetap tak berubah. Terkadang, godaan untuk mencari kepuasan di luar rumah muncul, terutama saat diajak teman-teman kantor, tapi saya selalu menolak. Suatu ketika, saya diajak ke sebuah salon kecantikan yang menawarkan layanan tambahan.
Rasa penasaran mendorong saya untuk melihatnya dari dekat. Salon yang terletak di area pasar itu dihuni oleh banyak terapis muda, menarik, dan berpenampilan yang cukup terbuka. Para pelanggan seluruhnya laki-laki, meskipun papan nama mencantumkan layanan untuk pria dan wanita.
Layanan lulur tampaknya menjadi kedok untuk aktivitas lain. Akan tetapi, keinginan saya sirna. Bayangan tentang banyaknya pria yang mungkin telah berhubungan dengan para terapis di sana membuat saya merasa tidak nyaman.
Bukan soal moral, melainkan perasaan pribadi. Saya lebih memilih untuk mengatasi kebutuhan fisik saya dengan cara lain. Setelah bayi kami berusia tiga bulan, istri saya kembali bekerja, termasuk perjalanan dinas seperti biasa.
Promosi jabatannya sebagai supervisor membuatnya semakin giat dan bahagia. Selama istri saya pergi, bayi kami dirawat oleh para pengasuh. ya.
Rosi atau Mayang atau kadang-kadang Mak Jah. Hanya jika makan (bubur bayi) saja tante-tantenya tidak sabaran. Mereka tak sanggup menyuapi bayi.
Saya sendiri geli melihat bayi makan. Bubur itu sepertinya tidak pernah mau masuk ke dalam perut. Hanya keluar masuk dari bibirnya.
Ibu mertua saya yang paling telaten. Kadang-kadang satu mangkuk kecil masih nambah jika ibu yang menyuapi. Jika siang saya sering tidur dengan anak saya.
Saya senang sekali menatap wajah mungilnya, Saya juga mulai pintar mengganti popok dan memberinya susu. Hanya kalau malam anak saya tidur dengan ibu mertua. Soalnya kalau tidur malam, saya susah bangun.
Biar anak menangis keras-keras saya sulit bangun. Siang itu, sepulang dari kantor, seperti biasa saya cuci muka dan tangan lalu rebahan di kamar. Badan saya agak meriang.
Mungkin saya akan terkena radang tenggorokan. Kerongkongan saya agak sakit buat menelan. Ketika ibu hendak menaruh anak saya untuk tidur (kalau siang anak saya biasa tidur dua-tiga kali), dengan terbata-bata saya bilang, “Bu, boleh Nisa tidur sama Ibu?” Nisa anak saya terlanjur ditaruh di sebelah saya.
“Ya boleh tho. Memangnya kenapa?” tanya ibu melepas selendang gendongan. “Badan saya agak meriang, saya ingin istirahat,” kata saya.
“Rosi dan Niken sudah pulang Bu?” Ibu tidak menjawab. Punggung tangannya ditempelkan ke dahi saya. “Wah, badan kamu panas.
Ya sudah Nisa biar tidur di kamar Ibu. Kamu istirahat saja. Ayuk cucu, bobo sama eyang ya?” Ibu pelan-pela mengangkat Nisa.
Lega rasanya saya. Saya benar-benar ingin istirahat tanpa diganggu tangisan anak. Setelah Ibu keluar dari kamar, saya segera tidur mendekap guling.
Benar-benar sakit semua badan saya. Kepala juga mulai berat. Saya mencoba mengurangi rasa sakit dengan memijit-mijit dahi dan kening.
“Nak Andy sudah minum obat?” tanya Ibu di ambang pintu. “Belum, Bu. Nggak usah.
Nanti saja.” Dengan badan seperti ini rasanya saya pengin dikerik. Dulu waktu masih bujang saya sealu minta kerik ibu saya. Jika sudah dikerik badan terasa ringan dan bugar.
Tapi mau minta kerik sama ibu mertua sungkan. Dulu memang pernah sih dikerik ibu mertua. Tapi itu karena setelah ibu melihat saya dan istri saya bersitegang soal kerik-mengerik.
Istri saya tidak mau mengerik saya. Bukan apa-apa, dia tidak suka cara itu. Katanya itu berakibat buruk bagi tubuh.
Istri saya memang doctor minded. Maklum dia dealer obat-obatan, Dia lebih mempercayai dokter dan obat daripada cara-cara penyembuhan tradisional. Cerita Lainnya: Cerita Seks Mama Menghadiahi Ultahku Dengan menyetubuhi
Melihat kami bersitegang ayah mertua saya membela saya, dan menyuruh ibu mengerik saya.
Kini saya sebenarnya sangat ingin dikerik. Seolah tahu pikiran saya, ibu menawarinya. “Mau ibu kerik?” “Mm terserah ibu saja,” kata saya.
Dalam hati saya bersorak. Ibu memanggil Mak Jah minta diambilkan minyak bayi (baby oil) dan ulang logam. Sejurus kemudian Mak Jah datang.
“Kamu lagi ngapain?” tanya mertua saya. “Setrika baju, Bu” “Ya sudah..” Ibu duduk di tepi ranjang. “Lepaskan bajunya,” kata ibu.
Saya melepas baju dan celana panjang saya. Saya bungkus bagian bawah tubuh saya dengan kain sarung, lalu tengkurap. Ibu mulai mengerik bagian punggung.
Nikmat rasanya. Kadang-kadang saja terasa sakit. Mungkin itu karena di daerah situ ada penyumbatan aliran darah.
Entahlah. “Merah semua nih Nak Andy,” komentar ibu mertua. Saya hanya bergumam.
Ibu mertua memang pandai mengerik. Bahkan lebih pandai dibanding ibu saya. Secara keseluruhan tidak menimbulkan rasa pedih.
Bahkan seperti dipijat utur. Saya benar-benar rileks dibuatnya, Apalagi kalau ngerik ibu ini sangat sabar. Hampir tiap jengkal badan saya dikerik.
Ibu menarik kain sarung, dan sedikit menurunkan CD saya, lalu mengerik bagian pantat. Sudah itu bagian paha. Selesai paha aku diminta membalikkan badan.
Dikeriknya dada saya. Yang ini agak berat. Saya banyak gelinya.
Alalagi kalau arah kerikan menuju bagian ketiak. Uhh seperti digelitik. Saya berkali-kali merapatkan tangan saya menahan geli.
Ibu tersenyum melihatnya. Setelah beberapa saat badan saya mulai beradaptasi. Rasa geli berkurang.
Saya mulai membuka mata yang tadi ikut terpicing menahan geli. Saya liat wajah ibu mertua saya. Mungkin kalau tua nanti istri saya akan seperti ini ya.
Umur ibu sekitar 50 tahun. Masih ada sisa-sisa kecantikan. Bagian wajahnya masih terlihat kencang.
Hanya bagian leher dan lengan yang tampak memperlihatkan usianya. Kasihan sebenarnya, usia segitu sudah ditinggal suami. Tiba-tiba badan saya tergelinjang.
Refleks saya mencengkeram lengan ibu. Rupanya ibu mulai mengerik bagian perut. Ini yang membuat saya geli.
cerita ngewe terbaru - Bersetubuh Dengan Ibu Mertua yang Kesepian Setelah Kematian Suaminya di Rumah Kami
Bahkan sangat geli. Bulu kuduk saya ikut berdiri. Ibu terus mengerik perut saya, dan saya terus mencengkeram lengan ibu.
Sesekali saya mengangkat bagian perut dan pinggul saya hingga menyentuh tubuh ibu. Gesekan-gesekan itu ternyata mnimbulkan rangsangan pada rudal saya. Sedikit demi sedikit rudal saya mengembang.
Tegang. Gila. Nafsu saya juga muncul perlahan-lahan.
Saya bahkan dengan sengaja menempelkan bagian rudal saya ke pinggang ibu. Sedikit menekannya dengan berpura-pura geli oleh kerikannya. Padahal tidak.
Saya sudah mulai beradap tasi lagi. Tangan saya masih mencengkeram lengan ibu. Jantung saya berdebar-debar ketika ibu menurunkan sarung.
Di hadapannya tubuh bawah saya terbungkus CD dengan isi yang menegang dengan sempurna. Maksimal. Sesekali saya lihat ibu melirik ke arah rudal saya.
Diturunkannya bagian atas CD saya. Hanya sedikit. Ahh padahal saya berharap seluruhnya ditanggalkan.
Saya rasakan ujung rudal saya tersembul keluar. Mustahil ibu tak meihatnya. Saya tatap wajahnya.
Wajahnya tak menampakkan reaksi apa-apa. Mungkinkah perempuan ini sudah tawar terhadap seks? Ataukah dia menganggap saya tak lebih dari anaknya sendiri?
Apakah dia pernah melihat rudal lain selain milik suaminya? Kerikan di bagian bawah perut menimbulkan sensasi yang luar biasa. Sesekali secara tak sengaja tangan ibu menyentuh ujung rudal saya.
Seperti dikocok dengan lembut. Saya telah benar-benar terangsang. Birahi saya membakar kepala saya.
Saya beranikan diri mengelus lengan ibu. “Ibu makasih sudah mau mengerik badan saya,” kata saya gemetar. Ibu cuma tersenyum.
Saya tak tahu artinya. Ia terus mengerik. Saya memberanikan diri menurunkan sedikit lagi CD saya, sehingga separuh rudal saya keluar.
“Bagian sini juga kan Bu?” kata saya menunjuk selangkangan. “Iya,” suara ibu bergetar. Sentuhan tangannya ke arah rudal saya makin sering.
Makin nikmat rasanya. Saya makin tak tahan. Saya turunkan sedikit lagi CD saya, dan kini terbukalah seluruhnya.
Saya rasakan kerikan ibu sudah mulai kacau. Saya tahu ibu mulai terpengaruh oleh pemandangan di depannya. Ya.
Mustahil kalau tidak. Bagaimana pu dia perempauan biasa, dan saya laki-laki asing. Cerita Lainnya: Cerita Seks Dengan Kakak Sepupu
Saya pegang tangan ibu, saya bimbing dengan pelan dan cemas menuju rudal saya.
Saya taruh tangan itu di sana. Tak ada reaksi. Tangan itu hanya diam.
Saya berusaha menggerak-gerakan rudal saya. Sekali waktu saya sentakkan. “Bu..” saya mendesis dan menggerak-gerakkan pinggul saya.
Ibu sudah tak konsentrasi lagi di kerikan. Gerakannya sudah bukan lagi gerakan mengerik, tapi lebih menyerupai garukan. Saya usap punggung ibu.
Saya telusuri lekuk badannya. Dia mengenakan daster. Saya rasakan tali BH di punggungnya.
Saya jadi penasaran seperti apa rupa payudara perempuan 50 tahun. Ibu meremas-remas rudal saya, mengocoknya perlahan. Saya buka resluiting dasternya.
Saya buka kancing BH-nya. Saya remas kulit punggung. Memang tidak sekenyal istri saya atau Rosi.
Tapi putihnya tetap membuat saya makin terangsang. Saya rebahkan tubuh ibu, saya cium pipinya, telinga, leher dan bibirnya. Kami berciuman penuh nnafsu.
Saya lepaskan dasternya di bagian atas. Hmm, payudara yang kendur. Tapi apa peduli saya.
Saya telah dikuasai oleh nafsu. Saya ciumi payudara itu, saya hisap, saya remas. Ibu menggeliat-geliat dan mengocok rudal saya.
Saya turukan CD-nya. Ahh seperti apakah rupa serambi lempit perempuan 50 tahun? Seperti apakah rasanya?
serambi lempit itu dibalut rambut yang amat lebat. Sepintas tak ada bedanya dengan milik istri saya. Sama-sama kenyalnya.
Perbedaan baru saya ketahu setelah rudal saya menyentuh lubang serambi lempitnya. Terasa kendurnya. Tetapi gerakan-gerakan yang dilakukan ibu memberikan efek yang fantastis bagi saya.
Saya belum pernah merasakan yang seperti itu. Istri saya seperti telah saya ceritakan, tidak enjoy dengan seks. Tampaknya seks adalah bagian dari kewajiban rumah tangga, sehingga persetubuhan kami pun lebih mirip formalitas.
Orgasme yang dia dapatkan tampakya tak pernah mengubah sikapnya terhadap seks. Kini di bawah saya, ibu mertua seperti mengajarkan kepada saya, bagaimana seorang perempuan sejati di atas ranjang. rudal saya seperti diputar-putar, diremas-remas oleh serambi lempitnya.
Luar biasa. Saya lebih banyak diam. Hanya bibir dan tangan saya yang bergerak ke sana-kemari, sedangkan bagian pinggul hanya diam menerima semua perlakukan ibu.
Ibu merintih-rintih, mengerang, lalu mendekap saya. Gerakannya makin hebat, membuat saya tak tahan lagi. Saya menggenjot pinggul sekuat tenaga, dengan kecepatan penuh.
Kedua kaki ibu menekan betis saya, bibirnya mencium dan mengisap leher saya. Lalu diciumnya bibir saya dengan rakus. Hampir digigitnya.
Dan srrt srtt srtt sperma saya memancar di dalam serambi lempitnya. Saya tahu ini akan aman bagi rahim ibu. Senyap di dalam kamar.
Tubuh saya lemas, tapi pikiran jadi jernih. Ibu bergegas membetulkan letak dasternya, mengenakan CD, dan menghilang dari hadapan saya. Saya tertidur.
Malas mau ke kamar mandi. Peristiwa itu membuat hubungan saya dengan ibu menjadi kaku. Ibu berusaha menghindari berdua dengan saya.
Beliau juga hanya bicara seperlunya. Tampaknya beliau amat terpukul atau malu. Saya sendiri berusaha bersikap wajar.
Apa yang telah terjadi antara saya dengan Mbak Maya dan Rosi telah mengajarkan saya bagaimana bersikap wajar setelah terjadinya skandal. Beda dengan ibu dan Mbak Maya yang berubah drastis. Mereka cenderung murung.
Kisah Seks, Cerita Sex, Cerita Panas, Cerita Bokep, Cerita Hot, Cerita Mesum, Cerita Dewasa, Cerita menyetubuhi, Cerita Sex Bergambar, Cerita ABG, Cerita Sex Tante, Cerita Sex Sedarah, Cerita Sex Pasutri, Cerita Seks Mengajak Bersetubuh, Cerita Seks Mengajak Bersetubuh, Cerita Seks Mengajak Bersetubuh,